3 Pengajuan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice Disetujui Oleh JAM-Pidum

3 Pengajuan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice Disetujui Oleh JAM-Pidum

Jaksa Agung RI kembali melakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana. Dimana penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang telah disetujui pada hari Kamis(25/01/2024), sebanyak 3 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

JAM Pidum menjelaskan bahwasannya 3 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dengan Tersangka yang terlibat didalamnya yaitu diantaranya:

  1. Tersangka Alfianoer als Alfian bin Yusri dari Kejaksaan Negeri Tapin, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
  2. Tersangka Jhono bin (Alm.) Riyanto dari Kejaksaan Negeri Lampung Barat, yang disangka melanggar Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan atau Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
  3. Tersangka Amelia Sonia Wulandari alias Lia binti Agus Sumarno dari Kejaksaan Negeri Samarinda, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

Setelah disetujuinya permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif pada hari ini, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penyelesaian Perkara.

"Selanjutnya, Saya memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.", jelas JAM-Pidum.

  • Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
  • Tersangka belum pernah dihukum;
  • Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
  • Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
  • Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
  • Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
  • Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
  • Pertimbangan sosiologis;
  • Masyarakat merespon positif.

Bagikan tautan ini

Mendengarkan

Berita Nasional


Berita Lainnya